cerpen publikasi psikologi



LEMBARAN TERAKHIR JENI
            Jeni berkali-kali menguap lebar, 2 hari 2 malam sudah Jeni berkecimpun di tugas-tugasnya. Yah, apalagi kalau bukan tugas kuliah yang tumpukannya melebihi tumpukan baju kotor yang ada di keranjang samping tempat tidurnya. Sama sekali belum isthirahat, capek dan pusing jadi satu. Jeni mengusap wajahnya yang kusut dan pucat, di lihatnya jam dinding pukul 02.00 dini hari. Matanya mengerjab-ngerjab menahan kantuk. Dia pun membereskan kertas-kertas yang ada didepannya.
“Akhirnya, selesai juga” batin Jeni sambil menguap sekali lagi. Jeni langsung membaringkan badan yang mulai berasa mau lepas dari peraduannya. Perlahan-lahan Jeni mengatupkan mata yang sudah 4 watt terbuai dengan kesyahduan malam.
***
            Kriingggg, jam weker menjerit tepat di telinga Jeni dan sukses membuat Jeni terlonjak bangun, dia mendengus kesal. Mentari sudah menunjukkan wibawanya di ufuk timur dan menerpa tepat di wajah Jeni. Pasti Bibi yang buka gorden jendela, keluhnya dalam hati. Di sibaknya selimut yang masih melindungi dirinya dari terpaan dingin AC kamarnya.
“ya ampun, udah jam 07.00 aja. Rasanya baru sebentar aku tidur“ Jeni menyambar handuk dan masuk kekamar mandi. Setelah semua beres Jeni ke garasi memanasi motor sejenak dan bergegas menuju kampus tersayang, saatnya tugas-tugas itu mendarat di meja dosen. ‘untung hari ini Cuma nyerahin tugas aja, jadi aku punya banyak kesempatan buat tidur’ batin Jeni sambil tersenyum. Sesampainya di kampus dosen yang di maksud belum datang, terpaksa menunggu. Lonely. Setelah setengah jam menunggu, Jeni segera memasuki ruang dosen. Beberapa lama didalam ruangan dosen, Tepat pukul 08.50 Jeni keluar. Jeni mengendarai motornya menuju danau. Dari jauh terlihat sahabatnya Evan sudah duduk di tepi danau, sendirian. Dengan malas Jeni menghampiri Evan.
“hei Jen” Evan menyambut Jeni dengan wajah sumringah, Jeni menanggapi dengan menguap lebar. Evan menggelengkan kepalanya.
“hei, nggak sopan kamu Jen” Jeni tidak banyak omong dia duduk  di depan Evan dan menjatuhkan kepalanya ke atas meja.“kamu kenapa? Pasti ngantuk kan? Kan kemaren udah aku bilang Jeni, jangan terlalu ngoyo ngerjain tugasnya, neh kamu jadi ngantuk dan kecapkean gitu “ Jeni menegakkan kepalanya. Matanya berbinar kesal. Tidak terima.
            “ehm, sewot deh kamu. Tugas emang penting Jen, tapi kesehatan kamu lebih penting” Jeni tidak menggubris, di jatuhkan lagi kepalanya ke atas meja  “Jen, kamu pucat banget loh. Kita ke dokter yuk” Jeni diam dan menggeleng pelan.  “ Jen, sekali aja kamu tuh dengerin omonganku, jangan ngeyel terus kenapa sih”
“iyah cerewet, ntar aku ke dokter. Tapi……. Kalo sempet yah” Evan menjitak kepala Jeni pelan. Jeni menepis dan mengusap pelan bekas ketukan Evan di keningnya.
***
            Jeni menghelakan nafasnya berkali-kali, di raihnya bingkai foto yang beisi gambar dirinya dan Evan, di pandangi lekat-lekat. Jeni membaringkan tubuhnya ke ranjang dengan masih memandangi foto itu. Seulas senyum menghias di bibirnya yang mungil. Terdengar helaan nafas berat Jeni.
            “aku beruntung memiliki sahabat seperti kamu Van, terima kasih” gumam Jeni pelan. Dan mulai terlelap di kantuknya.
***
            Hari ini begitu dingin di rasakan Jeni, padahal mentari sangat gagah di ufuk timur. sweater yang tebal juga nggak mampu mengalahkan rasa dingin yang hanya dia rasakan sendiri. Jeni mendekap tubuhnya erat-erat dan meringkuk di dekat dinding. Evan yang melihat Jeni tidak berdaya langsung menghampiri dan membawanya ke klinik kampus. Dibaringkan tubuh Jeni ke dipan klinik. Evan masih setia disampingnya.
“kamu itu kenapa sih Jen, kamu sakit?” Jeni menggeleng, sesaat dokter memeriksa keadaan Jeni. Dokter tersenyum kearah Evan.
“tenang aja, Jeni tidak apa-apa Van. Dia kecapekan, jadi membuat badannya menggigil seperti ini. Dibawah isthirahat juga akan sembuh kok”
“Alhamdulillah, terima kasih dokter” Evan memandang lekat Jeni. “tuhkan Jen, aku udah bilang jangan terlalu memforsir tenaga kamu. Jadinya begini” seru Evan sambil membantu Jeni bangun dari tidurnya. Jeni mengangguk kecil.
“iyah bawel. Lagian aku juga kecapean aja, kamu itu lebay banget tau”
“huh, selalu begitu. Aku khawatir sama kamu tau nggak Jen” Jeni menatapnya kosong dan seperti memelas menggoda Evan, Evan tertawa kecil sambil mengusap-usap kepala Jeni. Mereka keluar dari klinik.
            Jeni membaringkan tubuhnya ke tempat tidur sesaat setelah mereka sampai rumah. Setelah mengantar Jeni, Evan masih menemani Jeni. Tidak berniat untuk pergi walau sebentar, membuat Jeni menggelengkan kepala dan menatapnya dalam.
***
            Jeni tertawa berderai saat Evan berceloteh lucu untuknya,  hari ini mereka menghabiskan waktu di bukit, bukit yang menjadi saksi persahabatan karib mereka. kesenangan meraka terhenti saat setetes darah segar mengalir di hidung Jeni, refleks Jeni menutup hidungnya dan memegang kepalanya yang berdenyut. Evan berdiri menghampiri Jeni sambil membuka kemejanya, menutup hidung Jeni yang berdarah dengan kemeja. Evan panik.
“MasyaAllah Jen, kamu kenapa?”
“nggak papa kok,” jawab Jeni sambil menghapus darah dengan kemeja Evan. Evan menengadahkan kepala Jeni keatas berharap darah segar itu berhenti mengalir.
“udah nggak papa Van, keletihanku udah sangat parah banget nih, makanya sampai mimisan begini. Kamu tenang aja ini Cuma mimisan biasa kok “
“pokoknya Jen, besok-besok kamu jangan gitu lagi yah kasihan tau badan kamu itu. Kasian juga kamunya” Jeni hanya mengangguk.
***
            Sepulang dari bukit Jeni diam-diam mendatangi dokter pribadinya. Sebelum masuk ruangan dia memeriksa sekeliling sebentar setelah itu Jeni masuk ke ruang dokter Sherly. Sejenak di tatap tulisan di depan pintu “ Dr sherly ahli kanker” Jeni di sambut ramah dengan dr Sherly. Obrolan keduanya terdengar samar dari luar.
            Wajah Evan berubah pias dan pucat, setelah mendengar obrolan Jeni dan dokter. Tadi, setelah mengantar Jeni pulang Evan masih mengawasi Jeni dari balik tanaman bambu  kuning yang tumbuh tidak jauh dari rumah Jeni. 5 menit kemudian Jeni pergi dengan motornya, Evan pun mengikutinya di belakang dan Evan sedikit terkejut saat Jeni memarkirkan motornya di depan rumah sakit, Diam-diam Evan masih membuntuti Jeni. Kali ini Evan sangat terkejut, saat melihat Jeni masuk keruangan dokter dan tidak tanggung-tanggung dia masuk keruangan dokter spesialis kanker.
            Tidak lama, pintu terbuka lebar, Jeni terlonjak kaget melihat Evan sudah ada di depan pintu. Jeni menepuk bahu Evan pelan. Evan menoleh,
            “kanker apa Jen? Kenapa nggak cerita ke aku?” apa yang di takutkan Jeni terjadi, Jeni terdiam. Evan menatap Jeni dalam. Jeni menarik tangan Evan pergi dan membawanya ke taman belakang. Mereka duduk di kursi taman. Jeni menunduk.
“Van, maaf aku tidak pernah memberitahukan semuanya sama kamu. Sakitku sudah terlalu lama bahkan sebelum kita saling kenal. Kanker darah ini sudah menggerogoti,  sedikit demi sedikit aku melemah dan…. Yah seperti ini. Tapi aku beruntung aku tidak seperti yang lainnya, aku di serang tidak terlalu ekstrem. Makanya aku masih bisa bertahan selama 6 tahun ini dan masih tersenyum sampai saat ini. Aku beruntung tidak mengalami kebotakkan akibat obat keras yang aku konsumsi setiap hari, kulit ku pun tidak rusak dan kasar. Aku masih di beri kekuatan Allah untuk menjalani ini semua. Maaf Van, bukan maksud aku menutupi ini semua. Aku hanya nggak mau kamu jadi iba dan  kasihan melihat kondisi aku yang begini,dan aku juga nggak mau kamu mau berteman dengan ku hanya karena aku sakit“ Jeni menatap Evan sejenak dan tersenyum lagi.
“tapi,  kamu tenang aja. Aku masih kuat kok kalau cuma untuk nemeni kamu sampai tua” Jeni tersenyum kearah Evan, Evan memandangnya dingin dan sedih.
***
            Kondisi Jeni pasca operasi semakin buruk dan parah. Ayah dan Bunda pun memutuskan pulang untuk menjaga Jeni yang semakin tidak memungkinkan untuk tinggal sendiri dirumah. Semua kegiatan Jeni seratus persen di lakukan di kursi roda, tubuhnya terlalu lemah untuk menopang berat badannya. Evan sebagai teman yang setia, dia selalu menemani Jeni melewati hari-hari penderitaannya. Selalu ada di saat Jeni membutuhkan teman. selalu menghibur di kala Jeni sedih yang mulai mengalah dengan penyakitnya. Evan masih mengeringkan rambutnya saat handphonenya berdering.
“Evan, ada yang tidak beres dengan Jeni” suara bunda diseberang. Evan menyambar kunci motornya dan memacu kendaraan menuju ke rumah Jeni. Perasaannya menjadi sangat was-was dan kacau.
“bunda, Jeni kenapa?” serunya sesaat setelah menghampiri Bunda didepan kamar Jeni.
“Bunda nggak tau Van, tiba-tiba kondisinya menurun setelah ngobrol banyak sam Bunda. Sekarang dia lagi ditangani dokter.” Bunda panik. Evan memeluk bunda menenangkan.
“Bunda tenang yah, kita percayakan semua kepada Allah SWT dan dokter yang menangani Jeni” Evan menenangkan hati bunda, walau hati dia sendiri was-wasan dan sangat khawatir. Nafasnya terdengar berat.
‘Jen, pilihlah jalan yang terbaik untuk kamu. Kita semua tau kamu capek dengan semua ini, tapi tetap pilih jalan kamu sendiri. Kita siap menerima apapun keputusan kamu’  batin Evan lirih. Tidak lama dokter keluar dengan wajah yang sulit untuk di artikan.
***
            Evan bersimpuh lemah disamping pusara yang benar-benar masih baru, airmatanya sudah tidak bisa lagi menetes, semua seakan sudah habis tanpa sisa. Nisan itu masih sangat bersih dengan tulisan indahnya, Jeni Raisa wafat pada tanggal 17 september 2013. Disentuh nisan itu lembut, tanpa disadari sesosok wanita dengan wajah sangat sedih memandangnya dari jauh, airmatanya masih deras mengalir. Tidak berani mendekat.
“Jen, berbahagialah disana. Aku bahagia akhirnya kamu menyudahi rasa sakit yang berkepanjangan itu. walaupun, aku sedih kamu tidak bisa menemani hari-hariku lagi, seperti janji kamu. Tetapi, aku ikhlas Jen, aku ikhlas dengan semuanya. Asal kamu bahagia” Evan meninggalkan peristhirahatan terakhir Jeni yang nyaman dan panjang. Wanita yang sedari tadi memperhatikan pusara itu semakin mendekat dan memeluk nisan Jeni. Menangis pilu.
“maafkan aku mbak… aku adik yang bodoh. Adik yang mau menuruti semua permintaan konyol mbak Jen selama ini. Aku menyesal tidak ada disamping mbak, di nafas terakhir. Seharusnya aku tidak mendengarkan semua keinginan mbak dulu, dan nggak berusaha untuk melakukannya” lirih wanita itu sambil terus memeluk nisan Jeni.
***
            “dek, mbak mohon sama kamu. Tolong buat sahabat mbak bahagia, mbak yakin dia pria yang baik dan kamu akan bahagia bersamanya. Temani dia dan jaga dia, mbak percayakan dia sama kamu. Dari awal mbak bersahabat denganya, mbak sudah berniat tidak bisa terus bersamanya. Mbak percayakan semua dengan kamu, mbak yakin dia akan bisa membuat kamu bahagia dan berarti dan maafin mbak mu ini yah, sudah memaksakan kehendak mbak kekamu, memaksa kamu agar tidak muncul sewaktu mbak kritis. Sebenarnya mbak kangen kamu dek, tapi sekarang mbak yakin. Apa yang mbak lakukan memang sangan baik untuk kamu dan Evan. mbak Jen sayang banget sama kamu, titip ayah, Bunda dan Evan yah. Bahagiakan mereka semua” Cinta menutup buku, lembaran terakhir catatan kecil milik kakaknya, Jeni. Cacatan yang di berikan Jeni sesudah operasi. Kedatangan yang diam-diam dan sedikit membuat Jeni terkejut. Cinta menghapus airmatanya yang menetes dan menghampiri Evan yang berdiri di tepi bukit. Cinta mendehem kecil.
            “kak Evan, kenalin aku Cinta. Adik mbak Jen, mbak Jen sudah banyak cerita tentang kakak. Oh iyah mbak Jen ada titip ini kekakak, sebelum dia pergi. Katanya kakak seneng banget menerima surat terakhirnya ini” Evan terkejut, dia langsung menoleh kebelakang. Cinta tersenyum sambil menyerahkan amplop kecil Ke Evan. Dengan agak ragu Evan pun langsung menerimanya dan membaca isi amplop itu seksama.
“hei, temen tercinta ku. Apa kabar hari ini, pasti kamu lagi baca surat yang dikasih adek aku kan? Kenalin dia Cinta. Adik aku yang cantik dan pintar, kamu memang belum pernah bertemu dengannya. Habis dia sekolah diluar sih, dan jarang banget pulang. Malahan aku dan orang tua yang sering nyamperin dia. eh iyah tentang janji ku yang dulu, Aku akan menemanimu sampai tua, itu nggak bohong kok percaya deh sama temen kamu ini. Lewat Cinta, dia akan menjaga dan menemani kamu sampai tua nanti, tapi dia bukan penggantiku loh dia memang orang yang pantas untuk kamu. Kamu tau dong arti dari kata-kataku? Oke deh udah dulu yah, capek juga. Ini dia kalau orang sekarat, baru nulis sedikit aja udah capek tapi Yang penting, aku seneng banget udah bisa jadi sahabat kamu selama ini. Bye Evan jagain adek dan keluarga aku yah, aku percaya kamu memang sahabat aku yang bisa diandalkan” Evan melipat kembali surat itu dia menatap Cinta sendu, Cinta tersenyum Kearah Evan dan mengangguk pelan. Di tatap wajah Cinta dan senyuman penuh arti tersungging di bibirnya. Hembusan angin yang lembut menyibakkan kerudung yang di pakai Cinta, Cinta menahan ujung kerudungnya agar tidak semakin berantakan. senyumannya manis, di tatap hamparan kebun teh di depannya. Tatapan Evan sama sekali tidak berpaling. Akankah Cinta????

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ENDORPHIN

ENDORPHIN