Rimbanya Memerah
Sayuti berlari-lari di tepian hutan larangan,
wajahnya terlihat begitu sangat ketakutan, batu besar dan kerikil tajam tidak
lagi terasa dikaki telanjangnya. Sayuti tetap berlari tanpa kenal lelah menuju
desanya, sesekali Sayuti menoleh kebelakang dan melihat kepulan asap yang
semakin menghitam saja dibelakangnya, nafasnya sudah tidak lagi berirama. Langkahnya
semakin dipercepat saat dia mendekati sebuah gubuk kecil dipinggir hutan itu.
“assalamualaikum kek, kakek” Sayuti
menggedor-gedor pintu gubuk tersebut sambil menghapus keringat yang membanjiri
dahinya. Sayuti semakin menggedor kencang pintu gubuk itu saat tidak ada
tanggapan dari dalam gubuk itu.
“walaikumsalam, iyah sebentar” suara rentah
terdengar pelan dari dalam gubuk tersebut, kakek tua itu membuka pintu gubuknya
dan heran melihat Sayuti yang terlihat sangat ketakutan.
“kakek, singa besar itu semakin menjadi saja
membakar hutan kita. Semakin banyak asap-asap yang mengepul dari dalam hutan
larangan itu kek” kakek terlihat sangat terkejut.
“asthafirullahalazim, semakin keterlaluan saja
mereka. ini tidak bisa dibiarkan Sayuti, kita harus menghentikannya” seru kakek
berapi-api, kakek masuk kedalam gubuknya mengambil kopiah putihnya dan bergegas
pergi, Sayuti pun mengikuti langkah kakek dengan cepat.
“mau jadi apa lingkungan kita ini, mereka
ingin membuat kekacauan apalagi. Tidak cukup tahun lalu mereka membabat habis
hutan pinggir hingga gundul seperti itu, dan sekarang mereka membakarnya” kakek
terlihat marah sekali, sampai-sampai duri yang menghujam ujung jempol kakinya dan
menyisahkan darah yang mengalir tidak dihiraukan. Sayuti terdiam dibelakang
kakek, dia hanya termangu dan membenarkan ucapan kakek didalam hatinya.
Kakek semakin mempercepat langkah kakinya
menuju tempat pembakaran hutan itu, satu batang besar kayu di ambil dan
dipegangnya kuat-kuat. Tidak terima dengan akal muakal singa besar yang semakin
merajalela menghancurkan hutan itu, Sayuti menarik tangan kakek dan mengajaknya
bersembunyi ditempat yang aman dan melihat para centeng singa besar itu
menyiramkan sesuatu dan melemparkan korek api sesuka hati meraka. Kakek
memegang dadanya yang terasa sesak dan sedih melihat peristiwa hutannya dibakar
seperti itu.
“mereka berjumlah sangat banyak kek, kita
tidak mungkin bisa melawannya bila hanya berdua saja” Sayuti berbisik pelan. Kakek
tersadar, Kakek mengangguk-angguk mendengar kata-kata Sayuti, jika dia
bertindak sekarang dan melawan begitu banyak orang, dia pasti tidak akan
didengarkan, dia akan mendapat ejekan saja.
“kita harus kembali kedesa dan memusyawarahkan
ini semua ke penduduk desa kek, kelakuan singa besar itu harus kita beri
ganjaran yang setimpal”
“kamu benar Sayuti, tidak ada gunanya jika
kita melawan sekarang. Yang ada hanya sia-sia saja” Sayuti mengangguk. Mereka
pun pergi meninggalkan tempat tersebut.
***
Sayuti
sudah berada dirumah kakek dan menunggunya untuk kebalai desa, Jamilah cucu
kakek keluar sambil membawa pakaian yang baru saja dia cuci. Jamilah tersenyum
kearah Sayuti, Sayuti hanya menganggukkan kepalanya dan terlihat canggung.
“tunggu sebentar yah bang Sayuti, kakek tengah
bersiap didalam. Sebentar lagi dia keluar”
“iyah dik Milah, terima kasih”
“saya kesamping dulu bang, banyak kain yang
harus segera dijemur. Cuaca sedang terang” Sayuti mengangguk tanpa mau
memandang mata Jamilah, Jamilah berlalu. Sayuti tersenyum penuh arti dan
menatap punggung gadis manis berkerudung coklat itu.
“Sayuti” seruan kakek membuyarkan lamunan
Sayuti, kakek sudah berdiri di sampingnya dan mendapatkan dia tengah menatap
cucu kesayangannya. Sayuti terkejut dan segera berdiri dari duduknya.
“kenapa kamu melamun seperti itu, ayo kita
segera berangkat. Kita pasti sudah ditunggu warga”
“iyah kek” seru Sayuti malu. Kakek menuju
samping rumah dan memanggil Jamilah.
“Milah, kakek dan Sayuti akan ke balai desa.
Kamu tunggu dirumah saja, jika ada sesuatu hal yang perlu disampaikan segera
temui kakek ataupun Sayuti dibalai desa” Jamilah mengangguk pelan.
“kamu hati-hati dirumah. Assalamualaikum”
“walaikumsalam kek” Jamilah kembali
mengerjakan pekerjaannya yang sedikit tertunda.
***
Balai desa sudah dipenuhi warga yang tidak
terima menerima imbas dari pembakaran hutan besar-besaran tersebut. Semua
berisik dengan kata-kata marah yang ditujukan untuk para singa besar tersebut,
suara mereka kian mengecil saat kakek dan Sayuti datang dan masuk kedalam balai
desa itu. Beberapa perangkat desa pun sudah datang dan mempersilahkan kakek
membuka musyawarah desa. Kakek mengambil mikropon dan mulai berbicara.
“assalamualaikum wr wb, kita langsung keduduk
permasalahan yang tengah kita hadapi saat ini, saya selaku orang yang dipercaya
untuk menjaga hutan larangan itu dengan keras menentang semua tindakan singa
besar. Kita tidak bisa membiarkan ini menjadi-jadi dan berkepanjangan, hutan
itu milik kita semua bukan milik perusahan besar yang tanpa ijin memporak
porandakan isi didalamnya”
“saya setuju kek, jika terus dibiarkan seperti
ini. Bisa-bisa anak cucu kita tidak dapat menikmati manfaat hutan dan hanya
bisa melihatnya didalam buku tanpa pernah melihatnya secara langsung” seru
salah satu warga, kakek mengangguk.
“mau jadi apa negeri kita ini, tiap tahun
hanya masalah ini yang terus menerus kita hadapi tanpa ada tidak lanjut yang
berarti. Setiap tahunnya semakin merajalela dan meluas saja, kita harus
menghirup hasil pembakaran itu. Ini tidak bisa kita biarkan saja kek” salah
satu pemuda desa menuturkan kekesalannya.
Musyawarah itu berjalan lancar dan selaras
dengan apa yang tengah dipermasalahkan penduduk desa Karang Sari itu.
Keluhan-keluhan warga desa sudah terdengarkan semua, kakek mendengarkan dengan
pandangan iba, kasihan dan bercampur marah yang ditujukan pada singa besar yang
merusak ketenangan desanya.
Jamilah tergesa mendatangi balai desa itu dan
buru-buru mendekati kakek, nafas Jamilah masih tersenggal-senggal.
“ka..kek, ini musibah kek…. Binatang-binatang
yang semula hidup tenang didalam hutan kini berlari keluar dan sebagian besar
telah memasuki wilayah desa kita. Monyet-monyet yang ada didalam kini
mengganggu warga-warga desa kek dan merusak tanaman warga kek” seru Jamilah
berapi-api sambil sesekali memperbaiki kerudung coklatnya. Kakek langsung
berdiri dan mengikuti Jamilah, begitupun penduduk desa yang lainnya.
Mereka berbondong-bondong menuju batas desa
dan menyaksikan sendiri segerombolan binatang yang mendekati wilayah desa, dan
sudah terlihat beberapa monyet yang tengah merusak kebun-kebun pisang warga
desa tersebut. Beberapa anak-anak berlari-lari dan teriak ketakutan saat
dikejar-kejar monyet-monyet kelaparan itu.
“segera bawa masuk anak-anak kedalam rumah dan
kunci semua pintu dan jendela yang ada” pinta kepala desa sambil membantu
menggendong anak-anak. Kakek hanya terdiam melihat hutannya yang semakin panas.
“sayuti bantu penduduk desa menyelamatkan
barang-barang mereka, sebelum monyet-monyet itu mengambil dan merusaknya” perintah
kepala desa Ke Sayuti, Sayuti mengangguk dan segera mengerjakan perintah kepala
desanya itu.
“bang boleh Milah bantu” seru Jamilah.
“ayo Milah, kita harus bertindak cepat” Jamila
mengangguk dan membantu Sayuti. Beberapa warga berusaha mengusir monyet dan
binatang-binatang lainnya.
“kek, apa yang harus kita lakukan. Ini sudah
berbahaya” kakek terdiam, dia bingung harus bagaimana mengatasi masalah ini.
Kepala desa mendekati kakek,
“ini tidak bisa dibiarkan lagi kek, saya sudah
berusaha meminta bantuan ke pemerintah. Segala usaha sudah dikerahkan untuk
mematikan api yang semakin membesar itu, singa besar melepaskan tanggung
jawabnya begitu saja” kakek menepuk bahu kepala desa.
“rimbahku memerah” kakek menggeleng-gelengkan
kepalanya dan berlalu. Jamilah yang melihat kakek yang tengah bersedih pun
terdiam, diletakkan kembali buah pisang yang baru ditebas Sayuti.
“dik Milah ada apa?” Sayuti mendekati Jamilah.
“kakek bang, pasti dia sangat sedih sekarang.
Hutan yang dari dulu dia bangga-banggakan karena kesejukan dan kegagahannya
kini sudah hampir rusak semua, kakek sudah mengikrarkan hidupnya untuk menjaga
hutan dan melestarikan hutan larangan ini. Dan sekarang dia harus menyaksikan
hutannya di porak porandakan seperti ini” Sayuti menghela nafasnya berat.
“abang juga mengerti apa yang tengah dirasakan
kakek saat ini, kita berdoa saja semoga masalah ini cepat terselesaikan
mengembalikan semangat dan senyum kakek kembali” Jamilah mengangguk, dia
mengambil buah pisang itu dan menyimpannya kedalam gudang makanan.
***
Sayuti dan Jamilah duduk disebelah kakek,
berkali-kali terdengar nafas kakek yang terhembus berat, dipegangnya dada kakek
yang terasa semakin sesak saja. Jamilah mendekati kakek dan memijat bahu kakek,
“bagaimana dengan monyet-monyet dan
binatangnya Sayuti?” Sayuti mendongakkan kepalanya dan menatap kakek sejenak.
“Alhamdulillah semuanya sudah kembali kehutan
kek, semua warga sudah lebih tenang dan aman. Tapi kita harus tetap
berjaga-jaga kek, nampaknya binatang-binatang itu akan kembali dan mengganggu
warga kembali” kakek mengangguk pelan, dia masuk kedalam rumahnya.
Jamilah membuka mulutnya lebar-lebar saat
melihat kepulan asap yang mengarah kedesanya. Sayuti pun tidak kalah
terkejutnya melihat asap itu, dia bangkit dari duduknya dan memandang tidak
percaya.
“masyaAllah, asap-asap itu” beberapa warga
desa datang sambil batuk-batuk.
“asapnya sudah sampai kedesa kita bahkan sudah
menyebar kewilayah lainnya Sayuti, singa besar itu benar-benar tidak
bertanggung jawab. Mereka pergi setelah membakar hutan kita” seru pemuda desa
itu.
“pergi?”
“yah, mereka pergi tunggang langgang saat
api-api itu meluas. Saya melihat mereka kebut-kebutan meninggalkan tempat itu”
“kurang ajar sekali mereka, melepas tanggung
jawab seenaknya saja”
“Sayuti, Sayuti,” kepala desa memanggil Sayuti
dengan tergesa.
“pemadam kebakaran sudah tiba di kantor desa,
kamu koordinator ke lokasi kebakaran. Kita harus sesegera mungkin memadamkan
api-api itu”
“baik pak, akan saya koordinir damkar ke titik
kebakarannya” Sayuti segera berlari menuju kantor desa, 3 unit pemadam kebakar
sudah terparkir didepan kantor desa. Banyak warga yang memadati kantor desa
untuk melihat mobil pemadam kebakaran.
Setelah berbincang sejenak dengan petugas,
Sayuti segera membawa mereka kelokasi kebakaran. Jalan menuju lokasi tidak
terlalu susah sehingga memudahkan mobil pemadam kebakaran memasuki wilayah
tengah hutan tersebut. Sayuti terkejut melihat tengah hutan yang semula
berwarna hijau ranau dan sedap dipandang mata kini menjadi lautan api yang
memerah dan menyisahkan asap-asap yang semakin tebal. Tanpa pikir panjang
petugas pemadam kebakaran langsung bertindak dan menyemburkan air kearah api
yang semakin membesar saja. Sayuti berdoa didalam hati, rimbanya akan berhenti
memerah dan kembali damai seperti sedia kala.
***
Kakek berdiri di tepi bukit dan memandang luas
kearah hutan larangan, tatapannya sendu dan lelah. Sesekali diperbaiki masker
yang menutup hidung dan mulutnya untuk
mencegah terhirupnya asap tebal. Kakek terbatuk beberapa kali dan
perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.
Sayuti dan Jamilah keluar dari persembunyian
mereka setelah kakek pergi, Jamilah duduk disalah satu batang pohon dan menatap
luas kedepan. Sayuti menutup mulutnya dengan kain sarung yang melingkar
dilehernya.
“kalau sudah seperti ini kita hanya bisa
berdoa saja bang, berdoa agar hutan kita kembali meranau” Sayuti mengangguk
dengan tatapan mata kearah kobaran api besar ditengah hutan larangan itu.
Rimbahnya benar-benar memerah.
Komentar
Posting Komentar