cerpen porsima 2014 alhamdulillah di apresiasi



Penulis berkerudung putih
(karya Diana Anggraini)
Pantulan sinar dari luar mengenai tepat di wajah Alena, Alena memejamkan matanya sejenak dan mengerjab-ngerjab silau. Alena membuka jendelanya dan melihat kebawah jendelanya. Jamil melambaikan tangannya, dan mengisyaratkan agar Alena segera keluar dari kamarnya. Alena menganggukkan kepala dan mengacungkan jempolnya, dia menyambar tas sandangnya dari atas tempat tidur langsung keluar kamar menemui Jamil sahabat karibnya.
“hey penulis, apa kabar hari ini?” Alena tersenyum sejenak sambil merapikan kerudungnya yang tertiup angin semilir pagi itu.
“seperti yang terlihat dong, akukan emang akan          vcnb selalu sehat. Alhamdulillah” Jamil tertawa kecil, mereka terus berjalan beriringan menuju kampus.
“penulis, nanti sore aku ada pertandingan basket di PKM. Mau lihat sahabat kamu yang kece ini bertanding?” Alena terlihat berpikir sejenak.
“boleh aja sih, tapi aku ajak temen yah?”
“ajak aja, kan seru kalau semakin banyak yang liat” Alena mengangguk pelan. Jamil menggiring sepedanya di samping kiri, setiap hari Jamil terus menggiring sepedanya tanpa di kendarai sekalipun.
“kamu ini, buat apa tiap hari bawain sepeda kekampus. Tapi nggak pernah kamu naikin sekali pun Mil” Tanya Alena sore itu, saat mereka sama-sama pulang kekos masing-masing.
Jamil menggeleng “akukan temen yang baik, nggak mungkinkan aku naik sepeda dan temenku yang cakep ini jalan sendirian”
“yee, akukan emang hari-hari jalan kaki. Deket ini dari kos-kosan”
“sama”
“ya ngapain masih dibawa terus sepedanya?”
“dasar bawel. Aku duluan yah” Jamil mempercepat langkahnya dan langsung memarkirkan sepedanya diparkiran fakultas Ekonomi. Alena tertawa pelan, diapun langsung masuk ke gedung fakultasnya.
Alena tersenyum mengingat kejadian sore itu beberapa bulan yang lalu. Jamil bersiul disampingnya. Alena hanya sesekali melirik Jamil sambil menggelengkan kepalanya. Fakultas Jamil sudah terlewati beberapa langkah, Alena berhenti.
“kamu mau kemana?”
“anter kamu, apalagi”
“oke terima kasih. Eh iyah, aku ada buat beberapa judul cerita. Tapi aku masih takut untuk mempublikasikannya”
“kalau kamu, aku mah nggak heran. Penulis penulis, kapan kamu mau pede sama tulisan kamu. Masak mau bersarang mulu dilaptop kamu” Alena menggeleng.
“nggak tau. Tapi kalau ada yang nawarin aku buat diterbitin pasti aku mau”
“terus begitu. Kapan terkenalnya kamu?” Alena mengangkat bahunya. Dia sudah sampai didepan fakultas psikologi.
“makasih udah dianter. Ntar sore aku usahain datang” Jamil mengangguk dan langsung putar balik.
***
Alena dan Jamil memang sudah bersahabat sejak SMA. Walau mereka terlihat kompak diluar, namun mereka selalu berbeda. Dari hobi dan kesukaan, meraka sudah sangat berbeda. Alena hobi menulis dan membaca sedangkan Jamil menyukai olahraga, terutama basket dan Lari. Untuk urusan jurusan kuliah mereka bertolak belakang, Alena tertarik jurusan Psikologi sedangkan Jamil tertarik dengan ilmu perekonomian dan bercita-cita menjadi akuntan di bank negeri.
Perpustakaan fakultasnya masih sepi saat dia masuk kedalam, ini membuat Alena tersenyum senang. Hal yang seperti ini memang selalu dia sukai, suasana damai dan tenangl. Dia bisa berkonsentrai penuh untuk menyalurkan hobi menulisnya, sejak SMP Alena sudah menyukai hal-hal yang berbau menulis cerita, baginya menulis bagian terpenting di hidupnya. Selain bisa menuangkan imajinasi, bisa juga merefresh otak dan memberi semangat baru setiap harinya. Pengetahuan yang didapatnya semakin banyak, karena setiap kalimat yang dia tulis memiliki makna yang tidak jauh berbeda dari apa yang dia pelajari di kampusnya.
“door” Alena mengangkat bahunya terkejut. Dia langsung menoleh kebelakang.
“Vita, kamu ngagetin aku aja”
“maaf. Eh aku ada kabar gembira buat kamu” Vita duduk disamping Alena.
“kabar apa?” Vita menaruh selebaran di atas keyboard laptop Alena. Alena langsung membacanya.
“lomba menulis?”
“antar fakultas. Aku dapat dari ketua BEM, ikutan yah”
“besok, mendadak banget”
“nggak papa dong. Kamukan jago, mau yah?”
“boleh, aku pasti mau. Difakultas Ekonomi ruang rapat dosen”
“yes, aku bilang ke kakak itu dulu yah. Jangan lupa besok ke Ekonomi, bawa laptop dan charger. Aku keluar dulu”
“makasih infonya Vita” Vita mengangguk dan langsung keluar dari perpustakaan. Alena kembali fokus didepan layar laptopnya. Telepon genggamnya bergetar kecil.
‘nanti sore Technikal Meeting jam 16.00 di teater Ekonomi’ sms dari Vita
‘iya, nanti sore aku datang’ balas Alena singkat. Dia langsung teringat Jamil, dengan cepat Alena mengirim pesan.
Mil sori, nanti sore aku nggak bisa dateng liat kamu. Aku ada acara di BEM, aku direkomendasikan untuk ikut lomba menulis cerpen’ setelah pesan Terkirim Alena merapikan barang-barangnya dan langsung keluar dari perpustakaan.
***
Alena melemparkan tas ketempat tidur, dia membaringkan tubuhnya sejenak. Sore itu begitu melelahkan untuknya. Terlebih lagi kondisi fisiknya melemah dan demam. Baru saja akan memejamkan matanya sejenak, lemparan batu yang mengenai kaca kamarnya mengejutkan Alena. Dengan malas Alena memeriksa keluar, Jamil sudah tersenyum. Alena membuka jendela,
“ada apa? Aku lagi capek banget ini”
“semoga sukses untuk besok, aku yakin kamu pasti bisa”
“iyah makasih, kamu gimana?”
“alhamdulillah, menang. Aku lanjut ke tingkat nasional” Alena tersenyum senang.
“selamat, semangat terus. Tapi kuliah kamu jangan sampai bolong yah”
“pastinya, pertandingannya waktu kita libur semester kok”
“oke deh, kamu pulang sana. Aku mau isthirahat” Jamil mengacungkan Jempolnya dan mengayuh sepeda meninggalkan tempat itu.
Alena kembali merebahkan tubuhnya ke tempat tidur, dia mengambil amplop coklat dari tasnya dan langsung membaca isi kertas putih itu. Alena memandang sendu, beberapa tetes airmata mengalir di sudut mata.
“Alena, hasil lab sudah keluar tadi pagi. Kamu harus lebih tabah dan ikhlas menerima cobaan ini, Kanker kamu sudah masuk stadium 3 lanjut. Kamu harus segera kemoterapi” Alena menggeleng.
“saya tidak mau dok, saya masih mau hidup normal”
“bahaya kalau terus kamu biarkan seperti ini Alena, kanker itu akan berkembang lebih cepat lagi”
“nggak papa dokter, saya bisa menghadapinya. Dokter jangan khawatir, dokter jangan beri tahu soal ini ke keluarga saya. Saya nggak mau mereka khawatir”
“Alena” Alena hanya tersenyum simpul.
“dokter tenang aja, Alena baik-baik saja” Alena menyalami dokter Mira dan langsung pamit keluar.
Sebelum pulang Alena memang ke rumah sakit dulu mengambil laporan lab tentang penyakit yang sudah lama dia derita dan sudah menjadi rutinitas sehari-harinya jika aliran darah segar mengalir di kedua lobang hidungnya. Dia melipat kembali kertas putih itu dan menyimpannya di laci meja belajarnya. Dihapus sudut matanya dengan tisu.
“kamu nggak boleh menyerah Alena, kamu pasti bisa melawan ini semua. Kamu nggak boleh kalah hanya karena penyakit kecil ini” seru Alena, dia memegang kepalanya yang berdenyut kencang, setetes darah segar pun mengalir. Alena mengambil botol berisi butiran kapsul dan langsung meminumnya. Menengadahkan kepalanya keatas, berharap aliran segar itu berhenti.
***
Alena melangkah lenggang menuju kampusnya, senyumnya masih menghiasi bibirnya. Kerudung putihnya berbalut rapi dikepalanya, tas sandang berwarna putih menghiasi punggungnya. Semangatnya berkali-kali lipat lebih besar, dia sudah tidak sabar mengikuti perlombaan itu.
“kamu ninggalin aku lagi” Alena menoleh kebelakang. Dia tersenyum.
“assalammualaikum Jamil” seru Alena sumringah. Jamil turun dari sepeda dan berjalan disamping Alena.
“walaikumsalam, semangat banget. Pasti karena lomba itu yah?” Alena mengangguk. Jamil pun ikut tersenyum. “kalau menang, kamu akan lanjut lomba ketingkat daerah loh dan kalau menang lagi kamu ketingkat nasional. Pasti keren kan”
“amin, semoga saja Mil. Tapi aku nggak berharap yang muluk-muluk kok. Yang penting aku usaha maksimal aja”
“semangat” Alena tersenyum lagi. Jamil selalu senang jika melihat Alena terlihat semngat dan cerah seperti ini. Dia tahu apa yang tengah di rahasiakan Alena padanya.
Alena mengikut saat Jamil belok ke kampusnya, Jamil refleks menghentikan langkahnya dan memandang Alena bingung. Alena hanya memandangnya datar.
“ngapain?”
“lombanya kan disini, diteater kamu”
“disini? Kirain kamu memang sengaja ikutin aku” Alena mencibir
“geer banget, udah ah. Kamu masuk, ikutin kuliah dan aku ikut lomba. Semangat” Jamil tertawa. Dia memarkirkan sepedanya dan mengangguk.
“aku anter ke teater dulu, baru aku masuk” Alena mengangguk dan mengikuti Jamil dari belakang. “good luck yah, semoga sukses” Alena mengangguk pelan. Dia membuka pintu dan masuk kedalam.
Jamil menunggu Alena di luar ruangan, perkuliahannya baru selesai 5 menit yang lalu. Sudah 4 jam Alena ada diruangan lomba penulisan cerpen itu, sebotol minuman sudah di bawa Jamil sedari tadi. Sahabatnya Alena memang tidak pernah absen meminta minuman dengannya. Beberapa saat kemudia pintu teater terbuka dan Alena keluar dengan wajah semakin sumringah saja. Jamil menyambutnya dengan senyuman.
“dari tadi Jamil?” Jamil menggeleng pelan. Dia langsung menyerahkan minumannya ke Alena.
“nggak kok, baru 1 jam” Alena tertawa.
“udah pulang yuk, ntar malam bakal dikabarin sama panitian” Jamil mengangguk dan mereka pulang.
***
Alena teriak senang sesudah menerima telepon, dia girang dan bahagia. Dia memencet beberapa nomor,
“Jamil, aku lolos kebabak selanjutnya” serunya setelah teleponnya tersambung.
“hei, udah malem. Jangan kenceng-kenceng” Alena terdengan tertawa. “selamat yah, akukan udah bilang kamu bakal bisa kebabak selanjutnya”
“makasih doanya yah, sahabat aku yang paling kece”
“iya sama-sama. Alena, aku mau Tanya sama kamu?”
“Tanya aja, kok kayak serius amat”
“aku nemuin amplop coklat di selipan novel yang aku pinjam sama kamu” Alena yang sumringah langsung terdiam. “aku bukannya mau membuat kebahagian kamu menjadi terhenti, tapi ini sangat penting yang harus aku tanyakan sama kamu. Kanker otak stadium 3 lanjut, kamu?”
“iyah, itu bener. Tapi sekarang aku sudah baikan kok, Cuma sesekali aja kambuh”
“Alena…. Ini penyakit serius”
“aku tau, tapi nggak mau kalah sama dia. Dan kamu tenang aja, aku baik-baik saja saat ini. Aku bakal tetap nemeni kamu kok”
“Alena…”
“Jamil, aku lagi seneng. Aku nggak mau membahas ini semua, ya udah yah aku ngantuk mau tidur” Alena mengakhiri panggilannya.
***

Tiba-tiba Jamil dikejutkan dengan bunyi telepon di samping telinganya, panggilan dari Vita.
“kenapa Vita?”
“Alena masuk rumah sakit, tadi dia pingsan setelah mimisan” Jamil terkejut dia langsung mengambil jaket dan dengan motornya dia menuju rumah sakit dimana Alena dirawat.
Dia menuju ruang gawat darurat, terlihat Vita dan beberapa temannya disana. Bahkan ayah dan ibu Alena sudah datang, ibu tengah menangis di pelukan ayah. Jamil menghampiri Vita.
“Alena gimana?”
“dia ngedrop, kata dokternya kankernya sudah berkembang pesat dan mencapai stadium 4 lanjut. Alena nggak bisa lagi beraktifitas seperti biasa” Jamil menundukkan kepalanya.
Dokter keluar dari ruangang, Jamil langsung masuk kedalam. Alena yang sudah sadar mencoba tersenyum.
“kamu benar Jamil, penyakit ini memang bahaya. Dan aku sekarang udah sekarat seperti ini, cita-citaku menjadi penulis berkerudung putihpun nggak bisa aku capai”
“Alena… kamu harus semangat. Alenaku kan nggak seperti ini” Alena tersenyum masam.
“kamu semangat untuk basket dan kuliah yah, karena basket kamu lebih rajin kuliah dan semangat. Sepertinya pengetahuan kamu tentang basket makin top aja, peksiminas nggak bisa kau ikutin. Tapi aku senang bisa seperti ini”
“penulis, kamu harus sembuh” Alena mengangguk pelan.
***
Ayah, Ibu, Jamil, Vita dan teman-teman lainnya berdiri mengelilingi pusara yang masih berwarna merah itu. Jamil memegang kertas putih ditangannya dan meletakkan di atas pusara itu.
Kisah terakhirku
Aku suka menulis, menulis hidupku, menulis semangatki, menulis pengetahuanku. Aku memang ingin menjadi penulis namun dengan membaca hasil tulisan orang lain itu lebih menyenangkan. Vita tolong kamu periksa laptop aku, aku sudah setahun ini menulis buku tentang psikologi Sosial dan sudah beberapa kali konsultasi kepada dosen. Dan dosen suka dengan tulisan ini. Vita dan Jamil tolong bawa kepenerbit yah. Semoga karya terakhirku itu bermanfaat untuk semuanya.
Penulis berkerudung putih
Tulisan di kertas putih di atas pusara itu. Benar-benar menjadi tulisan terakhir Alena untuk selamanya. Dia sudah sangat tenang di atas sana. Keluarga dan teman-temannya pun mengantar senyuamn untuk Alena. Penulis berkerudung putih yang penuh semangat dan ceria.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ENDORPHIN

ENDORPHIN